Membangun Ketahanan Obyek Vital Nasional
Haldi Zusrijan Panjaitan
7/31/20233 min read


4 Agustus 2019, sejumlah wilayah di Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah mengalami mati listrik berjam-jam, bahkan di sebagian daerah listrik belum nyala hingga malam hari. Informasi dari PLN bahwa 21,3 juta pelanggan terdampak mati listrik. Dampak mati listrik tersebut bukan hanya pelanggan perorangan, pelanggan industri pun tidak luput dari dampak mati listrik tersebut. Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line, Kereta Bandara dan Kereta Api Jarak Jauh (KAJJ), Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta tidak bisa berjalan karena mati listrik tersebut. Jaringan telekomunikasi Telkomsel, Indosat, XL, dan sejumlah provider lainnya tidak bisa digunakan saat itu. Lampu lalu lintas di banyak titik juga mati. Dan tentunya masih banyak dampak ikutan lainnya yang tidak mungkin dicatatkan dalam tulisan ini.
Gangguan pada obyek vital nasional ternyata tidak berhenti pada kasus mati listrik saja, sejumlah insiden kemudian silih berganti mengancam obyek vital nasional. Selama tahun 2021, terjadi kebakaran di Kilang Balongan, dan 2 kali kebakaran di Kilang Cilacap. Selama tahun 2022, terjadi 2 kali kebakaran di Kilang Balik Papan, dan yang terbaru adalah kebakaran di Kilang Pertamina Plumpang pada 3 Maret 2023. Semua insiden tersebut selain menimbulkan kerugian dari sisi pemilik obyek vital, tentunya juga merugikan pelanggan yang menggantungkan rantai pasok usahanya dari minyak yang diproduksi dan disalurkan Pertamina.
Membangun ketahanan obyek vital nasional merupakan hal yang sangat penting bagi suatu negara karena melibatkan sektor-sektor yang kritis dan strategis untuk kelangsungan hidup, keamanan, dan stabilitas negara tersebut. Obyek vital nasional mencakup aset, infrastruktur, dan sumber daya yang memiliki peran kunci dalam menjaga kedaulatan, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan rakyat.
Berdasarkan Kepres No.63 tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional, Pemerintah saat ini telah menetapkan kurang lebih 11.000 obyek vital nasional dan obyek vital tertentu, di mana sekitar 4000-nya adalah obyek vital nasional. Pemerintah mewajibkan agar obyek vital nasional dan obyek vital tertentu ini dikelola risikonya untuk menghindari terjadinya gangguan keamanan, baik kriminal maupun non kriminal, serta untuk mengendalikan dampaknya apabila terjadi insiden. Gangguan keamanan non kriminal termasuk bencana, demo, unjuk rasa, dan gangguan sistem.
Kementerian yang telah menetapkan obyek vital nasional antara lain Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, Kementerian PUPR, Kementerian Perhubungan, serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sebagai contoh, Kementerian Perindustrian telah menetapkan 23 kawasan industri sebagai obyek vital nasional bidang industri, dengan pertimbangan bahwa industri tersebut berskala besar, padat modal, dan padat karya. Kementerian ESDM juga telah menetapkan 546 obyek vital nasional di subbidang minyak dan bumi, ketenagalistrikan, mineral dan batu bara, serta energi baru terbarukan dan konversi energi.
Lantas, apakah pemilik/pengelola obyek vital nasional sudah mempersiapkan rencana pemulihan dan kelangsungan bila fungsi prioritasnya terganggu? Dan seberapa tangguhkah pemilik/pengelola obyek vital nasional menghadapi gangguan yang seringnya tidak terduga? Padahal dampak yang ditimbulkan akibat ketiadaan pasokan barang/jasa dari pengelola/pemilik obyek vital tersebut sangat besar bagi masyarakat, atau bahkan bagi perekonomian, keamanan, dan kedaulatan negara.
Memang, sejumlah tindakan mitigasi risiko telah dilakukan untuk mencegah terjadinya gangguan pada instalasi objek vital nasional, semisal diterapkannya standar kualitas ataupun standar sistem kesehatan dan keselamatan kerja (SMK3). Tetapi, bencana itu sering terjadi di luar kapasitas manusia untuk mengendalikannya. Sehingga juga perlu dipastikan tersedianya pengendalian yang memadai untuk dampak yang ditimbulkan oleh gangguan tersebut, agar fungsi obyek vital nasional tersebut untuk pelayanan, keamanan dan kedaulatan negara bisa tetap berjalan. Pengendalian atas dampak terjadinya gangguan terhadap fungsi obyek vital nasional ini menjadi disiplin ilmu Business Continuity Management System (BCMS) yang kemudian oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) diadopsi menjadi Sistem Manajemen Kelangsungan Usaha (SMKU) sebagaimana diatur dalam SNI (Standar Nasional Indonesia) ISO 22301.
Karena kian banyaknya pemilik/pengelola obyek vital nasional yang belum mengelola dampak dari sebuah gangguan, dan masih minimnya kesadaran untuk menerapkan SMKU di Indonesia, maka sudah selayaknya Pemerintah mengambil sikap yang tegas untuk memastikan seluruh obyek vital nasional memiliki SMKU. Karena, dampak yang ditimbulkan oleh gangguan obyek vital nasional bukan hanya bagi pemilik/pengelola obyek vital nasional tersebut, tetapi juga dirasakan oleh masyarakat dan perekonomian negara secara luas.
Ketahanan obyek vital nasional hanya bisa dibangun dengan tata kelola risiko secara benar. SMKU adalah salah satu tata kelola risiko yang wajib diterapkan oleh organisasi yang ingin menyelamatkan pencapaian sasarannya, terlebih kelangsungan obyek vital nasional.
Secara keseluruhan, membangun ketahanan obyek vital nasional adalah langkah strategis untuk menjaga kelangsungan, keamanan, dan kedaulatan suatu negara. Upaya ini perlu melibatkan kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat secara menyeluruh dan terintegrasi, guna mengidentifikasi obyek vital, meningkatkan ketangguhan infrastruktur, dan menerapkan langkah-langkah preventif yang diperlukan untuk melindungi aset dan kepentingan nasional. Dengan demikian, negara dapat lebih siap menghadapi tantangan masa depan dan mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.
Haldi Zusrijan Panjaitan, ST, MT, BCMCP, CBCI, CDCP
Co-Founder of InCRA