Dari Pademi ke Endemi : Pelajaran dari Covid-19
Yuliasman
6/30/20232 min read


Presiden Joko Widodo telah mengumumkan perubahan status wabah coronavirus disease 2019 (Covid-19) dari pandemi menjadi endemi pada 21 Juni 2023. Perbedaan mencolok antara pandemi dan endemi adalah di mana pandemi terjadi dalam wilayah geografis yang luas dan serempak, sementara pada endemi kemunculan penyakit cenderung konstan dan dapat diprediksi serta hanya meliputi suatu area geografis.
Status endemi tersebut tidak hanya menempatkan Covid-19 bersama dengan 7 (tujuh) penyakit menular endemik lainnya di Indonesia yakni malaria, demam berdarah dengue (DBD), tuberkulosis (TBC), hepatitis, kusta, leptopirosis dan filariasis (kaki gajah). Tetapi, juga memiliki konsekwensi tertentu, misalkan diakhirinya perlakukan khusus oleh pemerintah terhadap Covid-19, yang selama ini dilakukan banyak pembatasan aktivitas publik untuk mengendalikan penularan, atau pun pembiayaan pengobatan yang ditanggung oleh pemerintah menjadi tanggungan pribadi (atau perusahaan bagi yang memberikan penjamina). Setidaknya hingga tulisan ini dibuat belum ada pernyataan tegas dari pemerintah tentang mekanisme penjaminan biaya pengobatan untuk pasien Covid-19.
Saat diumumkan sebagai pandemi di Indonesia pada kuartal pertama tahun 2020, kita merasakan bagaimana situasi ketika itu baik di tingkat pemerintahan maupun dunia usaha merespon dengan kepanikan, yang dibuktikan dengan seringnya berubah-ubah kebijakan dalam jangka waktu pendek. Kepanikan itu menandakan ketidaksiapan kolektif bangsa Indonesia dalam merespon situasi pandemi yang menular dengan cepat. Padahal, Indonesia bukan pertama kali berurusan dengan wabah, mengingat tahun 2009 Indonesia pernah menghadapi pandemi flu babi (H1N1), sebelumnya pada tahun 2003 Indonesia juga pernah melewati penularan SARS (severe acute respiratory syndrom) yang juga memiliki kemampuan menular dengan cepat. Sejumlah ahli mengatakan bahwa pandemi Covid-19 sebagai fenomena black swan, atau kejadian yang sangat jarang terjadi dan mustahil untuk diprediksi, tetapi mampu mengubah banyak hal.
Dalam konteks manajemen kelangsungan bisnis (business continuity management, BCM) seharusnya kejadian bencana (dalam bentuk apapun) yang menganggu pemenuhan kewajiban organisasi kepada pemangku kepentingan, digunakan untuk menguji kesiapsiagaan (awareness) yang telah dibangun sebelum bencana itu terjadi, sekaligus menjadi sumber masukan untuk penyempurnaan kebijakan dan rencana respon atas bencana tersebut dimasa datang.
Terlepas dari beragam apresiasi yang diterima sejumlah pihak atas penanganan Covid-19, banyak hal yang perlu dilakukan pembenahan khususnya terkait komunikasi risiko kepada masyarakat, fokus pada pengendalian penularan dapat dilakukan secara efektif tanpa menimbulkan kepanikan yang berlebihan.
Berikutnya yang perlu didorong adalah agar supaya setiap organisasi baik pemerintah maupun swasta, menerapkan kerangka kerja yang terukur dan bisa dievaluasi untuk manajemen kelangsungan bisnis, apalagi organisasi yang menyangkut pelayanan publik, organisasi yang menentukan pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuks sektor keuangan yang berimplikasi sistemik.
Bagi entitas bisnis yang telah memiliki kerangka kerja BCM, tentu banyak hal yang bisa dipetik pelajaran dari perjalanan menangani pandemi hingga endemi Covid-19. Pandemi Covid-19 memberikan peluang dan tantangan bagi organisasi untuk mengembangkan strategi pemulihan menjadi lebih luas, terutama dengan semakin meluasnya penggunaan teknologi informasi dalam proses penyampaian produk dan layanan kepada pelanggan.
Sebelum Covid-19 pertemuan dengan klien atau tim internal lazim dilakukan dengan tatap muka, setelah Covid-19, muncul kelaziman baru untuk pertemuan secara virtual. Setelah pandemi memasuki fase endemi, muncul perdebatan untuk meneruskan cara kerja selama pandemi atau kembali ke cara kerja normal dalam bentuk pertemuan-pertemuan tatap muka yang bagi sebagian kalangan dianggap lebih efektif.
Disisi lain, walaupun sebuah entitas bisnis telah menjalankan praktik BCM secara baik, pada kenyataannya pandemi Covid-19 tetap memberikan eksposure risiko yang signifikan karena memang sektor bisnisnya yang sangat rentan terhadap pembatasan kegiatan masyarakat, seperti sektor bisnis pariwisata. Perlu dikembangkan skema ketahanan bisnis yang secara alaminya memiliki ketergantungan pada kebijakan-kebijakan tertentu, sehingga bila suatu kebijakan diterapkan oleh pemerintah, organisasi dapat mengendalikan dampak kebijakan tersebut dengan rencana yang telah disiapkan.
Akhirnya, kita harus mengambil pelajaran dari setiap peristiwa, tidak terkecuali peristiwa Covid-19 yang saat ini sudah memasuki fase endemi. Mekanisme pengelolaan pengalaman menjadi kesempatan untuk meningkatkan ketahanan bisnis menghadapi goncangan itu lebih sempurna bila memiliki kerangka kerja tertentu sebagaimana diterapkan dalam BCM.
apt. Yuliasman, S.Farm, GRCP, QRMP, QRMA, BCMCP, CGP, CCP, FRAC, AAAK.
Co-Founder of InCRA